Catatan Mainstreem

catatan

Semoga gak ada yang protes ketika gue nulis ini di tanggal 4 Januari tapi judul diatas ada embel-embelnya akhir tahun. Baru pertama kali ini ada keinginan buat mendokumentasikan beberapa hal yang gue alami selama tahun 2015 dalam bentuk tulisan. Sebelumnya paling banter cuma bentuk checklist aja. Ya.. ini semacam kaleidoskop gitu deh, kata yang paling populer di akhir tahun/periode tertentu yang digunakan, apalagi dengan kalimat, “Catatan Akhir Tahun”. Mainstreem banget. Makanya gue kasih judul yang mainstreem juga. Menurut gue sendiri mengingat-ingat peristiwa/hal/kejadian yang terjadi apalagi kita alami sendiri itu penting juga. Sebagai introspeksi misalnya, apakah apa yang telah dikerjakan sudah sesuai dengan apa yang harus dikerjakan, berapa daftar target yang berhasil dicapai, dan seterusnya termasuk mengingat sisa-sisa kenangan.

Apa aja di tahun 2015 yang gue alami, akan gue bahas disini. Gak begitu penting buat kalian sih emang, so enjoy it or just ignore :D. Read More »

Empatipun Bisa Turun Ketika Dipermainkan

Manusia tidak pernah bisa memilih siapa yang akan melahirkannya, di tempat mana, ataupun dengan cara apa. Dilahirkan dari keluarga terpandang, kaya raya, tercukupi, di rumah sakit, di gubug, atau di tempat lain. Itulah pelajaran hidup yang diterima manusia pertama kali setelah terlahir di dunia, walau masih berumur beberapa menit saja dan belum bisa memfungsikan sendiri syaraf-syaraf dalam tubuhnya. Ya, pelajaran itu adalah keikhlasan dan syukur. Bersyukur karena nyawa dan raga yang telah disatukan semenjak dalam kandungan berhasil keluar sarang dengan sempurna. Walaupun kesempurnaan itu sendiri adalah teori yang relatif bagi tiap orang.

Perbedaan bukan hal yang tabu untuk dibahas di dunia ini. Termasuk yang mau gue bahas adalah perbedaan tentang “yang mampu” dan “kurang mampu”. Akhir-akhir ini gue ngerasa kalau rasa empati dalam diri gue berkurang. Dulu ketika disamperin (mohon maaf) pengemis atau peminta-minta, gue selalu ngerasa bersyukur dan berterimakasih. Bukan hanya bersyukur karena bisa menikmati hidup lebih “enak” dari mereka, tapi juga diingatkan untuk bersedekah. Udah diingetin sedekah, disamperin lagi.. jadi kan gak perlu repot nyari obyek buat sedekah. Begitu prinsipnya. Walaupun nggak banyak yang bisa gue kasih, tapi setidaknya menyadarkan lagi kalau rejeki yang diberikan ke tiap hambaNya, sebagiannya adalah rejeki titipan untuk hambaNya yang lain.

Gak pernah tau tepatnya kapan rasa empati gue mulai berkurang, yang pasti adalah karena rasa empati dan wujud syukur gue ke Tuhan seperti dipermainkan sama orang lain. Bukan lebay sih, tapi memang begitulah potret orang yang dipandang “kurang mampu” itu memanfaatkan psikologi orang lain. Read More »

Flat Shoes

flat shoes

“Jangan dirumah saja, Indonesia itu Indah. Indonesia itu Luas”. Udah sering kan tahu kalimat semacam itu di media sosial, ataupun di media masa? Sejak makin maraknya stasiun-stasiun tv membuat program yang bertemakan petualang dan disitu ada gambaran betapa indah nan eloknya alam negri kita ini. Bagus banget sih itu acara, sebagai pemirsa yang “nggak sempet” keliling Indonesia jadi tahu dan sedikit ngerasain atmosfer lokasi-lokasi yang dibahas tanpa harus memijakkan kaki disitu. Tapi efek lain yang menurut gue negatif adalah tempat-tempat itu jadi banyak banget yang ngunjungin dan endingnya malah orang-rang nggak bertanggung jawab pada ngrusak lingkungan. Bukti paling simpel adalah banyaknya sampah. Apa itu yang kalian bilang kalau kalian cinta alam Indonesia sembari mengucap kalimat ajakan yang kadang menyombongkan diri? Oke enough, selanjutnya gue gak mau ngebahas ini sih. Itu cuma sekelumit curhatan yang ada di pikiran dan tanda tanya, kenapa sekarang gunung sama pantai serasa jadi tempat pasar malem. Ramai, seru, menghibur, puas, tapi endingnya.. kotor. :'(

Masih ada hubungannya sama alam, ini analogi cerita tentang dua pendaki yang saling tersesat oleh rombongan masing masing. Panik? pasti, sedih? Iya, pengen marah.. ke siapa?, putus asa? emm jangan sampai lah. Saat sendiri seperti ini, bagi seorang pendaki hanya ada dua pilihan tujuan. Turun (pulang) atau tetep mau ke puncak. Dua pilihan yang sama-sama bukan pilihan yang mudah. Malu sama diri sendiri yang udah ngecap kalo tubuh dan jiwa ini adalah seorang pendaki, akhirnya pilihan pertama untuk terus berjuang sampai ke puncakpun dipilih. Begitu jauh dan susahnya berjuang melawan alam rintang perjalanan untuk sampai. But the journey must go on :)Read More »

Sepaket Masa Lalu

Momen pra puasa gini, gue keinget waktu kecil dulu ada acara tv yang wajib jadi tontonan gue kala itu. Tokoh utamanya zidan sama pak haji, walaupun banyak juga tokoh pendukung ditiap cerita yang diilustrasikan. “Lorong waktu” atau bahasa kerennya time traveling. Itu serial asli Indonesia, kalau serial yang punya cerita time travelingnya versi Jepang ada sih.. “Doraemon”. Yang cerita terakhirnya mau ninggalin si Nobita karena Doraemon berada di masa yang bukan masa aslinya, tapi malah gak bisa move on ketika menghabiskan waktu bersama Nobita sampai akhirnya bertemu pada masa seharusnya dia berkehidupan.. memilih kembali menjalani hidup dengan Nobita dan keluarganya. Kenyamanan, kebahagiaaan, duka bersama, dan bisa mengerti arti berkehidupan yang sesuangguhnya.. mungkin itu yang jadi alasan Doraemon. Dari situ ada pelajaran bahwa terjebak dalam masa lalu bukan berarti nggak ada kebahagiaan. Eh salah deh kayaknya kesimpulan gue, emmm *noyorin kepala sendiri*.

time-travel

Enak banget kalau dibayangkan kita punya lorong waktu layaknya program aplikasinya pak haji atau pintu kemana sajanya doraemon. Tanpa ngepoin akun sosial media, nanya-nanya temen deketnya, atau buntutin diem-diem, seorang secret admirer akan tahu semua informasi yang dia butuhin :D. Namun semesta dan keadaan nggak akan sekejut seperti sekarang jika terjadi hal seperti itu. Kita nggak akan tahu bahwa arti derasnya air hujan dan panas hanya untuk menunjukkan indahnya pelangi disudut pertemuan bumi dan langit (kalimat ini kayaknya nggak ada korelasinya sama pintu kemana saja sih). Dan juga nggak akan pernah tahu kekuatan rapalan do’a yang tulus jika hanya dengan tekan enter atau buka pintu doang bisa dapet semua yang kita inginkan.Read More »

Don’t Block Me Honey :(

Panas matahari yang mengintip di sela ventilasi jendela kamar yang sering gue buka dari sepanjang malam sebelum tertidur mengisyaratkan kalau itu awal hari yang cukup cerah sih. Tapi terasa lain sewaktu kedua mata ini terbuka dan merasakan ada yang berbeda dari diri gue. Bukan.. bukan gue abis di-apa-apa-in sedari malam gue tertidur, tapi badan yang kata orang jawa bilang “meriang”. Mulai dari detik itu juga, bukan beranjak bangun dari kasur malah mernarik selimut sebisa mungkin menutupi seluruh tubuh dan lanjut berbaring. Antara males dan lemes bangun, akhirnya sampai hampir satu hari penuh cuma berbaring dan ngelamun diatas kasur. Dan keadaan itu berlanjut sampai tengah hari berikutnya. Jadilah gue bed rest lebih kurang 30 jam-an. Untunglah itu cuma penyakit yang bisa dibilang ringan karna efek pola hidup yang “kurang sehat”. Hehe..

Tapi bukan mau cerita gimana keadaan gue, rasanya cuma tiduran satu setengah hari, atau karna gak bisa kemana-mana bahkan sekedar lari-lari kecil ngelilingin rumah kontrakan lima putaran. Gue bisa nge-klaim diri sendiri kalau gue orangnya jarang banget ngeluh, apalagi di media sosial. Kecuali itu buat bahan bercandaan, dan masalah sosial. Karena keluhan tentang kehidupan sosial adalah salah satu bentuk kritik. Tentang masalah birokrasi di suatu institusi yang pernah gue alami misalnya. Pada keadaan dimana diri yang punya dosa yang nggak sedikit ini drop, tetiba pengen aja buka aplikasi blackberry messenger trus update status disitu. Nggak banyak kata sih.. Read More »

Forever Sunday Forever Monday

forever sunday forever monday

Seteguk vanilla latte, mini black forest, dan koneksi jaringan wifi gratis emang sebuah paket semangat kecil yang cukup membuat otak berimajinasi. Suasana nyaman dan santai membuat gue berniat ngelanjutin kerjaan disini. Apalagi ditambah remang cahaya lampu dan titik-titik air ketika melihat jedela yang selepas hujan lebat di kota lumpia ini, membuat sendu semakin beradu. Bukan.. disini gue bukan jadi barista atau yang pinter bikin kue pesenan pelanggan, tapi ngerjain beberapa kewajiban yang baru sebagian gue kerjain di laptop dan harus sesegera mungkin diselesaikan.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” -Tan Malaka.

Trus apa hubungannya idealisme, Tan Malaka, vanilla latte, sama kerjaan? Nggak berhubungan langsung sih emang, tapi mereka LDR-an. Sebagai seorang laki-laki berumur 22 tahun gue masih bisa bangga kalau gue adalah seorang pemuda. Pemuda yang punya idealisme, mimpi, dan juga ke-keras-kepala-an yang masih kuat terlihat. Kalau dihubungkan ke kerjaan, gue punya banyak mimpi tentang itu dan akan sedikit cerita tentang sebagian dari mimpi-mimpi [yang menurut gue] besar.

Orang yang masih muda ini [mungkin] terlalu keras kepala untuk menjadi entepreneur. Iya di bio twitter gue juga udah tertulis dari dulu sebelum bingung mau kerja dimana.Read More »